Ini Cerita Mama Ibu, Mana Ceritamu?

       Mama ibu, itulah panggilan untuk seorang guru perempuan asal desa Napisndi. Desa Napisdi merupakan salah satu desa yang berada di provinsi Papua. Desa Napisdi memiliki akses transportasi yang cukup sulit karena jembatan untuk menghubungkan dengan kabupaten terputus. Maka dari itu, untuk menjangkau desa ini harus melewati tingginya gelombang laut. Walaupun begitu, sosok guru tangguh bernama Karolina Rumabur, mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak desa selama 12 tahun silam hingga saat ini.
       Beliau terkenal sebagai sosok guru teladan. Ibu memiliki jiwa yang besar untuk bertahan di sekolah. Ada saat dimana dia harus mengajar kelas 1 sampai kelas 6 untuk semua mata pelajaran selama sehari. Pada hal, dia adalah guru agama yang hanya memiliki jam masuk mengajar untuk mata pelajaran agama, namun dia harus merangkap karena kurangnya guru yang bersedia mengajar di sekolah atau bisa dikatakan guru tidak disiplin dan bertanggung jawab.


Foto beliau bersama kedua anaknya (Dea dan Martina dari kiri ke kanan)

       Tak dipungkiri, ibu biasa mendapat sorotan dari orang tua siswa karena guru-guru tidak aktif mengajar sehingga anak tidak mendapat pendidikan yang seharusnya dia dapat. Perkembangan pendidikan anak mereka yang lambat karena beberapa guru yang tidak aktif. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan di desa ini sungguh miris. Kapan pendidikan merata di seluruh Indonesia kalau guru saja tidak sadar untuk membangun pendidikan? Mereka guru sebagai agent of change untuk generasi bangsa sudah tidak peduli lagi dengan anak didik mereka. Tapi, masih ada hati yang baik di antara mereka yaitu mama ibu. Sang pahlawan pendidikan dari desa Napisdi.
       Air mata mengalir tiada hentinya di hati ketika melihat anak-anak sekolah hanya memiliki satu guru untuk kelas satu sampai kelas 6. Ini salah satu PR kita semua untuk mengulurkan tangan walaupun profesi bukan guru. Nawacita salah satu program dari presiden kita yaitu membangun dari pinggiran. Membangun Pendidikan dari pinggiran supiori barat belum terasa, mereka sang pendidik masih leluasa meninggalkan tugasnya sebagai pendidik. Mungkin karena desa ini sungguh sepi dan sunyi, tidak ada listrik, tidak ada sinyal, dan sulit akses informasi membuat para pendidik tidak betah mengajar. Mungkin pengawasan dari kabupaten ini masih kurang, atau perlukah dari pusat melihat langsung kondisi ini? Pertanyaan ini akan jadi pertanyaan karena tidak akan ada jawaban. Kenapa? Kenapa?
       Melihat anak desa ini membuat iri karena mereka masih menikmati indahnya alam papua. Belum tersentuh dengan industri yang bisa merusak alam-alam. Lompat di kali, bermain di pantai, memanjat pohon pinang dan pohon kelapa yang cukup tinggi. Mereka itu anak-anak Papua yang kuat, berjalan dari Napisdi (pantai) ke Marur (marur = tanah merah sebutan masyarakat desa) atau sebaliknya melewati hutan untuk bermain dan menikmati bangku sekolah. Mereka juga sangat antusias untuk menikmati indahnya pelajaran. Mereka memiliki semangat untuk dapat membaca, berhitung dan menyanyi.
       Di atas adalah  salah satu rekaman kehidupan di Papua, hal ini mungkin hanya cerita kecil tapi merupakan potret dari pendidikan bangsa kita Indonesia. Kata terakhir “Terima kasih untuk para guru yang telah berjuang untuk meningkatkan kecerdasan generasi muda”.

Sebelum saya akhiri tulisan ini, ada MOB :
Suatu hari di suatu sekolah, murid-murid sedang asik belajar.
Bapak Guru : 1+1, berapa anak-anak?
Murid           : Anak murid semua diam
Bapak Guru : Kalian goblok semua. Masa 1+1, tidak tahu?
Suara tersebut terdengar oleh seorang ibu yang letak rumahnya di samping sekolah. ibu itu sedang mencuci. Mendengar anaknya dibilang goblok sama gurunya. Sang ibu berbicara, “1+1 = 2, 2 hari di kampung 2– 3 bulan di kota”.

Salam Cerdas, Salam untuk kita semua

0 comments: